Oleh Redaksi
OPINI, kabarSBI.com – Keterlibatan mafia tanah masih menjadi persoalan serius yang dihadapi pemerintah, masyarakat maupun dari kalangan usaha. Mafia tanah sampai dengan saat ini menjadi salah satu aktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah, yang berujung pada kerugian pemilik tanah.
Karenanya masyarakat dihimbau untuk tidak memberi peluang atas peran calo atau mafia tanah untuk bergerak hingga mempengaruhi dalam urusan pertanahan. Sebab bukan hasil yang didapat malah perujung pada penipuan dan atau penggelapan.
“Biasanya hal itu terjadi manakala kesempatan perantara itu ada dalam transaksi, penanganan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara. Jangan beri kesempatan untuk itu,” ucap Arthur Noija SH, tim Divisi Hukum Sahabat Bhayangkara Indonesia (SBI) yang baru – baru ini menangani satu perkara sengketa tanah di daerah Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Provinsi Sulawesi Utara.
Menurutnya kasus-kasus sengketa tanah wajib dipublikasikan agar masyarakat dapat mengambil pelajaran agar terus berhati-hati dalam menggunkan jasa orang lain yang notabenenya adalah mafia tanah. Ia menyadari banyak masyarakat yang masih awam dalam menyelesaikan sengketa tanah atau transaksi pertanahan sehingga membutuhkan jasa orang lain.
Sebaiknya, kata Arthu, masyarakat dapat memanfaatkan jasa – jasa pertanahan yang dapat dipertanggunjawabkan seperti notaris, atau orang yang memang sudah dapat dipercaya.
Arthur Noija memberikan himbauan sehubungan kasus yang ia tangani terkait dengan ulah mafia tanah yang mendapat kuasa menjual atas tanah 1,5 hektar di Minahasa Utara namun belakangan menjual dan melakukan transaksi kepada pembeli, sementara pemilik tanahatau pemberi kuasa tidak mendapatkan haknya. Padahal, kata dia kuasa menjual tidak dibolehkan untuk transaksi keculi pada pemilik tanah terkait langsung.
Kasus yang ditangani bermula pemilik tanah sawah dan perkebunan warga Minut yang berdomisili di Kebon Pala Jakarta Timur. Tanah tersebut berupa: satu, kebun sawah terletak di lingkungan III Kelurahan Rap-Rap sebutan Doud Kaima; dua, tanah pertanian di wilayah kelurahan Airmadidi Atas dengan sebutan Kinorkor; tiga, tanah pertanian terletak di kelurahan Airmadidi Atas dengan sebutan Sendangan.
Keluarga pemilik tanah memberikan kuasa merawat dan menjual pada warga Airmadidi yang semula dapat dipercaya namun belakangan justru hasil penjualan tanah tidak diberikan pada pemiliknya.
Perbuatan penerima kuasa tentu saja merugikan pemilik yang akibatnya pemilik melaului jasa advokad melaporkan pada pihak kepolisian. Tetapi laporan polisi itu tidak berlanjut sebab penerima kuasa bertanggungjawab dan mengembalikan apa yang menjadi hak pemilik namun bukan dalam bentuk uang melainkan harta benda berupa 2 unit kendaraan mobil, satu rumah dan tanah seluas 1,5 hektar.
Perlu di ketahui karena keberdaan pihak pemilik seorang pengusaha di luar negeri maka benda-benda dari hasil tanggungjawab penerima kuasa berada dalam ‘penguasaan” advokad.
Ironisnya, oknum advokad entah kemasukan setan apa yang mempengaruhi sehingga benda yang dalam penguasaannya itu di jual pada pihak lain tetapi hasil penjulan tidak juga diberikan haknya kepada pemilik.
Kembali pemilik tanah mengalami penipuan atau penggelapan untuk kedua kalinya. Benda-benda berharga seperti rumah, dua unit mobil dan tanah seluas 1,5 hektar raib oleh oknum advokad.
Pemilik kembali melakukan upaya hukum kali ini yang diporkannya adalah oknum yang berprofesi sebagai advokad. Pemilik memutuskan melalui kantor advokad barunya melaporkan oknum advokad yang sebelumnya adalah orang kepercayaan pemilik yang telah menerima kuasa menjual atas harta benda pemilik, tapi malah dilaporkan kepada Polda Sulawesi Utara pada 20 November 2019.
Arthur Noija selaku rekan advokat (pelapor) menjelaskan bahwa dalil “kuasa mutlak” oknum advokad tidak dibenarkan. Kata Arthur, berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.
Menurutnya jenis Surat Kuasa Mutlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah, sebagaimana diatur dalam Instruksi Mendagri 14/1982. Tujuannya intruksi mendagri untuk mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah.
Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak”. Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah. (red)