Oleh: Saimin Redaktur Pelaksana
OPINI, kabarSBI.com– Baru-baru ini sekelompok warga di lingkungan RW 07 Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara mengalami beban bukan saja ekonomi tapi psikis mereka terganggu.
Hal itu disebabkan sekelompok warga umumnya di lingkungan RT 01 RW 07 Papanggo akan menelan pil pahit. Sebab rumah tinggal dan tempat usaha mereka akan dibongkar karena bertepatan dalam area lahan Jalan Tol Ir. Wiyoto Wiyono yang terbentang antara (pilar) P255 E21A hingga P 256 WALL A. Tol tersebut di kelola oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP).
Pengelola jalan tol saat ini sedang menormalisasi sisi selatan untuk jalan turun (keluar) dan naik (masuk) dari sekitar Warakas dan Papanggo. Nantinya pada jalan tersebut juga diharapkan akan menjadi jalan alternatif untuk mengurai kepadatan lalu lintas di Jalan Yos Sudarso/Cawang (Plumpang) dan jalan RE Martadinata (Ancol).
Pada tahap awal pembangunan nampak tiang pancang/paku bumi dan sejumlah pekerja dan kendaraan berat beraktivitas menyesuaikan rencana kerja.
Seiring pekerjaan itu gejolak sosial di lingkungan masyarakat setempat tak dapat terbendung. Hal ini disebabkan karena pengalaman seputar kompensasi atau uang kerohiman untuk warga pemilik rumah atau tempat usaha yang terkena dampak proyek jalan tol, dinilai ngawur.
Sejumlah warga terdampak proyek jalan tol itu menilai pola ganti rugi bangunan atau uang kerohiman yang ditentukan pengelola jalan tol bersama pemerintah setempat tidak obyektif dalam pendataan warga pemilik bangunan. Terkesan asal diganti tanpa mempertimbangkan jerih payah warga dan rasa keadilan, seperti sebelumnya saat memberikan kerohiman pada warga kolong tol RW 07 Papanggo, sekitar 1 -2 bulan lalu.
Hal itu tentunya tidak diinginkan warga pemilik bangunan sisi utara/selatan terjadi dan terulang kembali. Seperti pula yang terjadi di kampung bambuan. Warga kampung bambuan meski mendapatkan ganti rugi/kerohiman tetapi menimbulkan masalah sosial karena pendataan tidak obyektif. Meski diterima tetapi dalam keadaan ‘dipaksa’ dan mereka sampai kini batin terluka.
Hal sama akan terjadi pada kurang lebih 50 KK pemilik bangunan di lingkungan RT 01/07 Papanggo. 50 orang warga umumnya lapisan bawah mempunyai bangunan yang berbeda antaranya untuk rumah tinggal permanen, semi permanen, gubuk, dan kandang hewan ternak.
Warga sebanyak itu tidak menghendaki pemerintah menjadi zolim terhadap warganya. Pemerintah setempat sangat bisa mengambil kebijakan searah dengan semangat Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia atau keadilan sosial bagi warga terdampak Jalan Tol Ir. Wiyoto Wiyono, Papanggo.
Pada dasarnya warga terdampak sangat mendukung program pembangunan pemerintah yang dilaksanakan perusahaan terbuka seperti CMNP dan atau BUMN. Namun permintaan mereka sangat sederhana bila uang kerohiman itu adalah wajib dan merupakan sebagai bentuk perhatian dan perlindungan pemerintah. Diharapkan pemerintah dan yang terkait jangan sampai menzolimi warga hingga menimbulkan kecemburuan sosial sesama warga lapisan bawah yang berdampak panjang serta dapat merusak tatanan keakraban warga dan kerukunan sesama.
Warga terdampak menginginkan pemerintah melakukan sosialisasi yang benar, pendataan yang akurat, dan transparasi agar integritas pemerintah kian berwibawa. Pemerintah jangan sampai main dua kaki. Satu kaki seakan mengayomi dan menunjukan perhatianya pada ‘warga kecil’ namun di kaki lain pemerintah menjadi pelaku untuk mencari peluang ‘keuntungan pribadi’ pada pihak pelaksana proyek dan perusahaan terbuka atau negara itu.
Dalam hal sosialisasi dan pendataan pihak yang berkompeten melakukan itu pertama dan utama harus jujur, kedua akuntabel, ketiga berintegritas tinggi. Hal itu akan menjauhkan kesan pemerintah main dua kaki, pilih kasih serta menghilangkan intervensi warga berpengaruh, bisa pula menepis pengaruh perusahan pengelola dan pelaksana proyek tol tersebut.
Pemerintah setempat bersama terkait harus profesional lakukan pendataan layaknya pekerja proporsional apapun itu obyeknya berapun luas dan bahan materialnya, catat dengan baik. Dengan begitu sangat mudah untuk menentukan uang kerohiman. Bagi warga terdampak pun akan terwakili rasa keadilan yang bisa menjauhkan perselisihan sesama warga. Demikian seharusnya, dan itu menandakan bahwa keadilan itu masih ada meski di ruang gelap (kolong tol) di pinggiran Jakarta.
Pribahasa tua mengatakan biar lambat asal selamat. Tentu pribahasa ini bisa saja tidak disukai pelaksana proyek maupun perusaan terbuka, perusahaan ingin cepat, aman, dan untung banyak. Penulis berharap integritas pemerintah, semoga mereka yang duduk di perintahan dan ‘perusahaan negara’ bukan tergolong orang-orang yang rakus. Tetapi sebaliknya mereka peka terhadap derita rakyat atau derita masyarakat dan atau penderitaan warga negara yang hidup terpaksa karena tiada tanah, tiada uang, dan mungkin tiada pekerjaan.
Penulis menghimbau pemerintah pusat sampai yang paling bawah pemerintah kelurahan dapat bercermin, hayati regulasi, hayati semangat pendiri negara ini. Kalian yang duduk menjabat sudah cukup banyak gaji, tunjangan dan lainnya telah dinikmati. Kalian perusahan terbuka dan atau BUMN pun sama bahkan mungkin lebih. Sedangkan warga jauh dari itu semua.
Jangan berbuat zolim pada warga karena mereka sudah cukup menderita selama ini. Kehidupan mereka bertahun-tahun dengan mengisi ruang ruang gelap kolong tol dan atau sisi sekitar tol yang penuh rawa-rawa atau tumpukan sampah, sangat jauh dari hidup layak dan rentan ancaman keamanan dan kesehatan.
Sekelompok orang orang pinggiran tol itu tidak neko-neko, jumlah mereka sedikit, mereka hanya butuh di orangkan, di manusiwi-kan. Mereka tak menuntut pekerjaan, mereka tak menuntut kesejahteraan, dan mereka tak menuntut tanah. Mereka hanya menurut kebijakan disertai keadilan yang tidak meresahkan.
Kerohiman adalah wujud kasih dan sayang negara pada rakyatnya atau pada warganya sama halnya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang menciptakan kalian semua, maka berbuatlah ADIL, camkan itu. (*)