oleh

Dito Ganinduto: Keberhasilan Vaksin Sangat Menentukan Arah Perekonomian

Dito Ganinduto: Keberhasilan Vaksin Sangat Menentukan Arah Perekonomian 1kabarSBI.com – Setahun sudah berlalu sejak virus Covid-19 ditemukan di Wuhan, Tiongkok pada akhir 2019 lalu. Hingga hari ini, data Worldometer mencatat sebanyak 86,837,053 kasus dilaporkan lebih dari 218 negara di seluruh dunia. Sejak ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada Maret 2020, sejumlah pemimpin dunia menerapkan berbagai kebijakan lockdowntravel ban dan restriction atau pembatasan sosial. Pandemi terus menyebar cepat dan luas dalam waktu singkat, tak terkecuali di Indonesia.

Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto mengingatkan, pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di tahun 2021. Keberhasilan program vaksinasi akan sangat menentukan arah perekonomian Indonesia dalam waktu satu tahun mendatang. Meski demikian, APBN akan tetap melaksanakan fungsi-fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi secara optimal untuk mengawal pemulihan kesehatan masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional.

“Menyongsong 2021, saya mengajak segenap bangsa Indonesia untuk tetap waspada dengan risiko penularan, tetap menjaga disiplin protokol Kesehatan serta membangun optimisme bersama. Saling membantu, saling menguatkan dan terus bahu-membahu membangun bangsa. Kami juga berharap agar Pemerintah melanjutkan berbagai kebijakan yang telah dijalankan untuk menangani Covid-19 dan memulihkan perekonomian,” kata Dito melalui keterangan tertulis kepada awak media, Rabu (6/1/2020).

Politisi Partai Golkar itu menekankan, pemerintah perlu melanjutkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang masih relevan, terutama untuk membantu masyarakat miskin dan memberikan bantalan bagi dunia usaha. “Kami di Komisi XI siap bekerja sama dengan pemerintah agar APBN 2021 dapat dioptimalkan dalam rangka memulihkan perekonomian, dan untuk menjaga APBN semakin sehat dan berkualitas,” tegasnya.

Penurunan kinerja perekonomian yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 mengakibatkan kontraksi ekonomi di banyak negara di tahun 2020. Bank Dunia dalam rilis Global Economy Prospect pada 5 Januari yang lalu memproyeksikan ekonomi India dan Thailand mengalami pertumbuhan masing-masing -9,6 persen dan -6,5 persen, sedangkan Indonesia diproyeksikan akan mengalami kontraksi sebesar minus 2,2 persen.

Sejak pemerintah fokus terhadap penanganan dampak pandemi Covid-19 pada Kuartal I – IV tahun 2020 dengan berbagai kebijakan menunjukkan ada perbaikan perekonomian. Sejak November 2020, indikator PMI manufaktur telah kembali pada level ekspansi sebesar 50,6 dan kembali meningkat di bulan Desember 2020 ke angka 51,3. hal ini menunjukkan keberlanjutan perbaikan di sisi permintaan maupun produksi, yang ditopang berbagai kebijakan stimulus.

“Tren peningkatkan inflasi yang terjadi sejak Oktober 2020, setelah mengalami deflasi di bulan Juli hingga September, juga menjadi indikasi mulai pulihnya permintaan domestik. Dengan tren perbaikan tersebut pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 akan berada dalam kisaran -2,2 persen hingga -1,7 persen,” ungkapnya.

Menurutnya, outlook pertumbuhan ekonomi tersebut tidak terlepas dari berbagai bentuk kebijakan fiskal di tahun 2020 yang dilakukan secara luar biasa, terutama untuk membantu konsumsi masyarakat dan dunia usaha. Perppu 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU 2 Tahun 2020 menjadi landasan dan payung hukum untuk mengambil kebijakan luar biasa menghadapi pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya.

“Kebijakan tersebut terutama dilakukan melalui Program Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) dengan alokasi anggaran sebesar Rp695,2 triliun (4,2 persen dari PDB) yang difokuskan pada pemulihan kesehatan, perlindungan sosial, dukungan dunia usaha terutama UMKM, Pemda serta sektor terdampak,” jelas Dito.

Melalui perubahan APBN 2020, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 dan Perpres Nomor 72 Tahun 2020), pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai bentuk stimulus fiskal untuk menahan kontraksi lebih dalam pada perekonomian di masa pandemi. Perubahan postur APBN juga dilakukan karena penerimaan perpajakan yang mengalami penurunan signifikan sebagai dampak dari pelemahan ekonomi akibat pandemi di saat kebutuhan belanja meningkat pesat.

Pemenuhan kebutuhan belanja juga dilakukan melalui refocusing dan realokasi belanja untuk penanganan Covid-19 dan penguatan perlindungan sosial, yang juga menuntut adanya perubahan postur APBN. “Walaupun kebijakan countercyclical APBN di tahun 2020 dilakukan secara luar biasa, namun pengelolaannya dilakukan dengan baik yang tercermin pada defisit yang tidak melebihi target,” paparnya.

Dito menilai, rendahnya realisasi Penerimaan Perpajakan sebagai sebagai dampak perlambatan ekonomi dan pemanfaatan stimulus perpajakan oleh dunia usaha. Namun, Realisasi PNBP dapat melebihi target sejalan dengan membaiknya harga komoditas dan optimalisasi PNBP non SDA sejalan dengan membaiknya aktivitas masyarakat. Sedangkan, Realisasi Belanja Negara dioptimalkan meski tetap menjaga ketepatan sasaran dan efisiensi. Dengan kondisi tersebut, sampai dengan akhir tahun defisit mencapai Rp956,3 triliun (6,09 persen terhadap PDB).

Fungsi Program PEN dalam APBN sebagai instrumen countercyclical, terlihat dari indikator kemiskinan dan pengangguran. Pandemi telah menghentikan tren penurunan tingkat kemiskinan nasional dalam beberapa tahun terakhir, dari 11,96 persen (Maret 2012) ke 9,41 persen (Maret 2019) menjadi 9,78 persen di Maret 2020. Tanpa stimulus dari APBN, tingkat kemiskinan di tahun 2020 diprakirakan akan mencapai 10,96 persen.

“Sehingga, dengan adanya program perlindungan sosial, tingkat kemiskinan di tahun 2020 diprakirakan berada pada kisaran 9,7 persen hingga 10,2 persen. Subsidi dan program UMKM PEN juga telah membantu lahirnya unit usaha baru dan menahan peningkatan jumlah pengangguran,” pungkas Dito. (alw/sf/red)

Kabar Terbaru