Opini oleh D. Supriyanto Jagad N *)
Wartawan salah satu media online di Kebumen, Jawa Tengah, menelpon saya dan menyampaikan uneg-uneg adanya kekerasan terhadap wartawan lokal yang dikeroyok oleh sekelompok santri. Insiden pengeroyokan ini, buntut dari pemberitaan di media online yang disebut berisi fitnah terhadap Rais Syuriah NU Kebumen Romo Kiai Afifudin Chanif Al Hasani atau Gus Afif.
Dalam berbagai kesempatan, saya berulang kali menyampaikan kepada teman-teman yang sedang melakukan tugas jurnalistik agar lebih berhati-hati.
Jurnalis atau wartawan, pada dasarnya, adalah setiap orang yang berurusan dengan warta atau berita. Kebutuhan terhadap informasi kini sudah menjadi bagian dari kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap harinya.
Perlindungan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik telah menjadi kewajiban dunia internasional. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wina, Austria, dalam resolusi yang telah disepakati seluruh anggota tanggal 27 September 2012 untuk pertama kali menegaskan, pentingnya keselamatan wartawan sebagai unsur fundamental kebebasan ekspresi.
Dalam resolusi itu, Dewan Hak Asasi Manusia menyerukan kepada negara-negara di dunia agar mengembangkan lingkungan yang aman bagi wartawan yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan pekerjaan secara independen. Resolusi ini juga menyerukan pencegahan impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan dengan melakukan investigasi yang tidak memihak, cepat dan efektif.
Peran jurnalistik dan komunikasi di era milenium seperti sekarang ini semakin terasa. Seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, Dalam masa kebebasan pers sekalipun, justru semakin banyak kasus kekerasan yang menimpa wartawan.
Jika ada pihak yang paling berperan dalam menyediakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, itu adalah insan pers. Insan pers—wartawan, redaktur, dan seluruh pekerja di lembaga pers—setiap hari bekerja mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyiarkan berita kepada khalayak. Namun, dalam menjalankan tugas, insan pers ada kalanya tidak benar-benar leluasa. Dengan kata lain, kebebasan pers belum benar-benar hadir, termasuk di Indonesia.
Pers disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, dan pers yang bebas merupakan hak asasi manusia (HAM). Sayangnya, kebebasan pers di Indonesia masih menjadi persoalan hingga saat ini. Ancaman perusakan alat kerja, kekerasan fisik dan seksual, serangan digital, pemenjaraan, penyensoran, hingga pembunuhan masih mengintai jurnalis dan pekerja pers lainnya dalam menjalankan tugas.
Menjadi seorang wartawan memang merupakan profesi yang rentan terhadap bahaya. Namun demikian, lahirnya kebebasan pers ini diikuti pula oleh meningkatnya ancaman keamanan terhadap pekerja pers termasuk para wartawan.
Jenis kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis beragam, mulai dari penyeretan, pemukulan baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul, hingga pengeroyokan oleh oknum. Baik yang berupa ancaman/intimidasi, tekanan dari para pihak yang menjadi obyek berita maupun tindakan pemukulan, perampasan atau pengrusakan perlengkapan tugas jurnalistik (kamera, film, kantor) sampai pada pembunuhan terhadap insan pers.
Kekerasan terhadap wartawan tidak akan terjadi, jika masyarakat memilki budaya menghargai fungsi dari tugas jurnalis. Budaya yang tidak menghargai tugas wartawan merupakan sebuah ancaman terhadap jurnalis yang sedang menjalankan pekerjaannya.
Mencegah kekerasan terhadap wartawan
Bentuk-bentuk kekerasan terhadap wartawan, sebagaimana disebutkan di atas, tentu sangat mengganggu wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Cara-cara seperti itu merupakan pelanggaran terhadap hak wartawan untuk mencari dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Tindakan semacam itu sudah melanggar hak asasi wartawan dan hak publik untuk mendapat informasi.
Indonesia sebagai negara demokrasi menjamin kemerdekaan pers. Pasal 4 UU No 4 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Pers nasional tidak dikenai penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.
Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal tersebut dengan tegas memberi hak kepada pers untuk melaksanakan tugas jurnalistiknya.
Pemberian hak itu sekaligus sebagai jaminan kepada wartawan dalam melaksanakan tugasnya tanpa ada rasa takut. Karena itu, kasus-kasus kekerasan dan berbagai bentuk ancaman terhadap wartawan dalam melaksanakan tugasnya merupakan pelanggaran hukum.
Perlindungan hukum untuk wartawan juga dipertegas dalam Pasal 8 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu menegaskan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Di dalam konteks hak asasi manusia (HAM), perlindungan terhadap wartawan menjadi bagian dari HAM yang berkaitan dengan tugas jurnalistik. Itu artinya perlindungan hukum terhadap wartawan hanya berlaku saat ia melaksanakan tugas jurnalistik.
Jadi, UU tentang Pers hanya menjamin wartawan terbebas dari berbagai kasus kekerasan selama yang bersangkutan melaksanakan tugas jurnalistik. Di luar tugas, wartawan dinilai sama dengan warga negara lainnya. Namun, bukan berarti wartawan saat tidak bertugas dapat diperlakukan semena-mena.
Sebagai warga negara, wartawan tetap mendapat perlindungan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan UU tentang HAM. Dengan demikian, wartawan baik saat bertugas maupun tidak bertugas tetap mendapat perlindungan hukum.
Karena itu, semua bentuk kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran hukum yang pelakunya harus ditindak. Bahkan kekerasan terhadap wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik merupakan ancaman terhadap kemerdekaan pers.
Taat kode etik
Dengan berkaca pada sejumlah kasus kekerasan, pekerja media, baik cetak maupun elektronik, agar menaati Kode Etik Jurnalistik, menjalankan Standar Perilaku Penyiaran, mengedepankan sikap independen, dan tidak partisan dalam melaksanakan tugas peliputan.
Hal tersebut sangat membantu untuk mengurangi potensi kekerasan terhadap wartawan di lapangan. Profesionalisme wartawan itu sejalan dengan perintah UU tentang Pers. Pasal 7 UU Pers menegaskan wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Itu artinya pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak semata pelanggaran etika atau moral, tapi juga pelanggaran atas kaidah hukum. Ketaatan atas Kode Etik Jurnalistik telah diperintahkan UU Pers.
Karena itu, ketaatan wartawan Indonesia terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi mutlak. Namun, hal itu masih sulit dilaksanakan mengingat pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik masih rendah.
Hasil penelitian Dewan Pers memberi gambaran, sebanyak 75% wartawan Indonesia tidak memahami Kode Etik Jurnalistik. Rendahnya pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik tentu membawa implikasi pada berita yang dihasilkan.
Tentu sulit mengharapkan wartawan seperti itu dapat membuat berita yang memenuhi persyaratan Kode Etik Jurnalistik. Karena itu, berita yang dihasilkan sangat berpeluang tidak objektif dan tidak seimbang dan terhadap fakta yang diberitakan belum dilakukan check and recheck. Berita semacam itu berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan di tengah masyarakat, termasuk sumber berita.
Selain itu, independensi media akan memengaruhi taat-tidaknya wartawan pada Kode Etik Jurnalistik dalam menulis berita. Hanya media yang betul-betul independen yang dapat ‘memaksa’ wartawannya untuk tetap komit menulis berita yang memenuhi kode etik profesi.
Persoalannya apakah semua media massa (cetak, elektronik, dan daring) di Indonesia benar-benar independen? Bagi media yang menunjukkan keberpihakan, sangat mungkin berita yang dihasilkan berpotensi menimbulkan ketegangan atau gesekan di tengah masyarakat.
Jadi, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.
Wartawan harus profesional
Sebagai sebuah profesi, wartawan dalam setiap kegiatan jurnalistik, dituntut memiliki kesadaran yang tinggi, harus memiliki self perception yaitu bahwa kesadaran tinggi dapat dicapai apabila memiliki kecakapan, ketrampilan dan pengetahuan yang memadai dalam menjalankan tugas profesinya. Tidak mudah memang menjadi seorang jurnalis professional.
Tak kalah penting, seorang wartawan atau jurnalis harus memiliki kesadaran etika moral dan informasi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan. Kode etik menjadi kiblat kerja wartawan professional dalam menjalankan tugas profesinya mencari dan menyajikan berita yang akurat. Wartawan atau jurnalis professional juga harus memahami informasi untuk membangun suasana ketika berhadapan dengan nara sumber.
Dalam perspektif ilmu jurnalistik, wartawan professional adalah wartawan yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, salah satunya adalah menjunjung etika moral.
Selain kode etik jurnalistik, wartawan dalam bekerja harus berkiblat pada 5 W + 1H, dan UU Pers No. 40 tahun 1999.
Wartawan professional harus pula mampu membangun suasana ketika berhadapan dengan naras umber dengan cara memahami materi yang akan diajukan kepada nara sumber dan memiliki informasi akurat terhadap masalah yang akan digali, artinya, wartawan harus bisa menyesuaikan diri ketika berhadapan dengan nara sumber dengan cara memahami isi yang akan diajukan kepada nara sumber, serta memiliki informasi yang akurat terhadap masalah yang akan digali. Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup, itu salah satu kuncinya.
Jurnalisme harus berpatokan pada sembilan elemen jurnalisme Untuk memenuhi fungsi media (Kovach dan Rosentiel, 2001:6) yaitu, (1) menginformasikan kebenaran, (2) loyalitas utama urnalisme pada warga, (3) esensi jurnalisme adalah verifikasi, (4) jurnalis harus menjaga independensi (5) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, (6) jurnalisme sebagai forum publik, (7) jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan, (8) jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional (9)para jurnalis mengikuti hati nurani.
Sembilan elemen jurnalisme ini tersirat di dalam kode etik junalistik. Ketika para jurnalis melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik berarti para jurnalis telah bekerja secara professional.
Sembilan elemen jurnalisme ini tersirat di dalam kode etik junalistik. Ketika para jurnalis melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik berarti para jurnalis telah bekerja secara professional.
Dalam bekerja, wartawan harus bersikap independen, mampu menghasilkan berita yang akurat dan berimbang. Selain mentaati kode etik jurnalistik yang menjadi dasar atau panduan, seorang wartawan harus mampu menjaga kepercayaan publik, dan mampu menghasilkan karya jurnalistik yang baik, inspiratif dan edukatif.
Seorang wartawan harus mampu menghasilkan berita yang akurat dan tidak bersikap buruk terhadap nara sumber, dan sadar etika hukum dalam menjalankan kegiatan jurnalistik.
Wartawan professional harus lintas latar belakang, semua harus bisa, dan harus bisa memahami segala jenis berita. Jika pekerjaan jurnalis itu ditekuni atau dijiwai tidak akan ada kendala.
Tak kalah penting, wartawan profesional harus cermat dan cepat dalam menyajikan berita, salah satu caranya dengan mempersiapkan segala hal sebelum melakukan wawancara, seperti peralatan perekam digital, kamera, identitas dari perusahaan pers yang menaungi, dan mencari tahu atau menggali informasi mengenai topik yang akan diwawancarakan, sehingga nantinya menghasilkan berita yang berimbang sesuai 5W+1H dan akurat, sehingga tidak menimbulkan dampak hukum di kemudian hari.
*) D. Supriyanto Jagad N, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia