JAKARTA, kabarSBI.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menyampaikan bahwa salah satu rekomendasi Panitia Kerja (Panja) Minerba Komisi VII DPR RI adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan yang tidak menggunakan Harga Patokan Mineral (HPM), dalam rangka penguatan kebijakan industri pertambangan nasional, khususnya mineral nikel pada tahun 2019-2021.
“Kementerian ESDM RI memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin sebagaimana diatur di dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 Tentang Tata cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Minerba,” ucap Eddy dalam Seminar ESDM di Bandung, Jawa Barat seperti yang dikutip Parlementaria mengutip dari Media Nikel Indonesia (nikel.co.id) pada Rabu (30/11/2022).
Menurut Eddy, perusahaan yang diberikan sanksi tegas yaitu perusahaan IUP Operasi Produksi (OP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUPK) OP yang tidak mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM) dalam penjualannya mineral yang diproduksi termasuk kepada afiliasinya dan perusahaan yang melakukan pengolahan/pemurnian bijih nikel yang tidak melakukan pembelian bijih nikel yang mengacu pada HPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain itu, Eddy menambahkan bahwa Kementerian ESDM juga melakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja surveyor dalam melakukan verifikasi kuantitas dan kualitas penjualan mineral. “Dan memberikan sanksi yang tegas kepada surveyor yang terbukti tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,” ujar Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Eddy menambahkan, rekomendasi Panja Minerba selanjutnya yakni Kementerian ESDM harus mendorong agar memanfaatkan nikel kadar <1,7 persen wajib dilakukan oleh smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), serta mendorong perlunya agar produk smelter RKEF berupa FeNi, NPI, Ni Matte tidak diekspor keluar negeri namun wajib diprioritaskan untuk pemenuhan bahan baku didalam negeri agar dapat diolah menjadi stainless steel.
“Kementerian ESDM harus mendorong pengembangan smelter HPAL (high pressure acid leaching) yang jumlahnya saat ini masih sangat terbatas, untuk memastikan tersedianya bahan baku bagi pengembangan Industri kendaraan listrik dan baterai listrik didalam negeri yang saat ini telah menjadi proyek strategis pemerintah,” jelas Eddy.
Kemudian, masih kata Eddy, Kementerian ESDM bersama Kementerian Perindustrian perlu mendorong agar industri hilir pada pohon industri nikel di dalam negeri yang saat ini belum tersedia untuk didorong pembangunannya untuk memastikan ketersediaan pasokan bahan baku untuk pengembangan industri di dalam negeri.
Legislator Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat III itu menuturkan, Komisi VII DPR juga merekomendasikan kepada Kementerian ESDM untuk wajib melakukan penataan terhadap jumlah smelter nikel yang ideal. “Yang disesuaikan dengan sumber daya dan cadangan bijih nikel nasional yang kita miliki agar pemanfaatan sumber daya nikel dapat berlangsung untuk jangka waktu yang lebih lama,” tuturnya.
Eddy mengungkapkan, rekomendasi itu juga meminta Kementerian ESDM harus meningkatkan kegiatan eksplorasi, penguatan competent person dalam estimasi sumber daya dan cadangan Logam Tanah Jarang (LTJ) serta mineral ikutannya. Ia menambahkan, Panja juga merekomendasikan Kementerian ESDM untuk melakukan pengawasan yang ketat pada pengelolaan mineral ikutan sisa hasil pengolahan, dan menugaskan BUMN sebagai badan usaha untuk pengumpul dan pengolah LTJ di dalam negeri.
Eddy memaparkan bahwa Komisi VII DPR dalam fungsi pengawasan untuk perbaikan tata kelola mineral kritis dan strategis telah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan kementerian dan perusahaan BUMN terkait, seperti Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, dan PT Timah Tbk, pada 11 April 2022, dengan hasil beberapa kesimpulan.
Pertama, Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen Minerba KESDM dan Dirjen ILMATE Kemenperin untuk Menyusun regulasi terkait tata kelola niaga LTJ, khususnya mineral monasit dan unsur turunannya. Kedua, Komisi VII DPR RI meminta Dirjen Minerba KESDM dan Dirjen ILMATE Kemenperin untuk berkoordinasi dalam menyusun roadmap pengembangan industri LTJ yang secara ekonomi dan teknologi dapat dikembangkan di dalam negeri selambat-lambatnya pada akhir tahun 2022 dan disampaikan secara berkala pada Komisi VII DPR RI, dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT Timah Tbk.
Ketiga, Komisi VII DPR RI mendorong PT Timah Tbk untuk menemukan penyedia teknologi pengolahan LTJ yang sesuai kebutuhan. Selain itu, menurut Eddy, pengawasan DPR dalam mewujudkan tata kelola mineral kritis dan strategis dilakukan dengan mendorong pemerintah agar terus melakukan perbaikan proses perizinan. “Penyederhanaan waktu dan proses perizinan untuk pengembang Industri mineral kritis dan strategis agar lebih mudah dan cepat,” ujarnya.
Berikutnya, merumuskan kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal bagi pengembangan industry mineral kritis (LTJ) dan strategis. Kemudian melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hilirisasi termasuk pengawasan Produk samping dari proses pengolahan/pemurnian seperti pada smelter HPAL (high pressure acid leaching) nikel kobal akan menghasilkan mineral LTJ berupa Skandium (Sc), Neodimium (Nd), Praseodimium (Pr), Disprosium (dy). “Serta mendorong tumbuhnya industri dalam negeri yang dapat memanfaatkan LTJ,” tutupnya. (sf/aha/red)