kabarSBI.com – Anggota Komisi VIII DPR RI Hasan Basri Agus memastikan, konflik yang terjadi di Desa Mareje, Kecamatan Lembar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara (NTB) pada awal Mei 2022 lalu, bukanlah persoalan SARA. Untuk itu, dirinya meminta kepada seluruh pihak yang berkepentingan dapat mengendalikan konflik di dalam dengan baik. Jika diperlukan peran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus ditingkatkan, mengingat perannya yang luar biasa dalam mengelola konflik di Lombok Barat.
“Dan kita harapkan (konflik) ini tidak meluas dan ternyata memang di lapangan setelah kita cek bukan (persoalan) SARA. Tentu sepakat pada semua pihak-pihak yang berkepentingan, baik itu FKUB-nya, maupun dari pihak keamanan, polisi dan termasuk pemerintah daerah. Cuma memang, kalau (konflik) tidak dikendalikan dengan sebaik mungkin, nanti ke depannya akan bisa menjadi hal SARA, dan itu yang perlu kita kendalikan ke depan,” tegas Hasan Basri saat mengikuti Kunspek Komisi VIII DPR RI ke Lombok, NTB, Senin (23/5/2022).
Terkait program moderasi agama dari Kementerian Agama, menurut politisi Golkar ini, ke depan harus terus dikembangkan. Terutama dalam rangka membantu organisasi seperti FKUB yang tugasnya melakukan koordinasi dan sinkronisasi keumatan. “Dan kalau kita lihat dari fungsi yang diperankan oleh Ketua FKUB luar biasa. Oleh sebab itu, menurut hemat kami dalam rangka moderasi umat beragama ini, ke depannya FKUB ini diperankan, ditingkatkan, dan termasuk juga menambah dana yang dibantu oleh pemerintah pusat,” paparnya.
Hasan Basri berharap implementasi program moderasi beragama bukan hanya di lingkungan Kemenag, namun kepada semua pihak yang berkepentingan dalam menjaga keumatan, seperti FKUB, majelis ulama, dan sebagainya. “Itu yang kita harapkan untuk ke depannya. Itu salah satu poin yang kita simpulkan dari Komisi VIII, meningkatkan anggaran FKUB termasuk peran atau kajian moderasi agama itu ke depannya perlu ditingkatkan. Semua pihak yang berkepentingan, kalau memang dari sisi dana operasional itu (akan) kita bantu, kemudian situasi (yang kondusif) di lapangan yang perlu ditingkatkan ke depannya,” harapnya.
Sementara Anggota Komisi VIII DPR RI Rachmat Hidayat yang merupakan legislator daerah pemilihan (dapil) NTB II mengaku terkejut dengan adanya pemberitaan yang tersebar luas di sosial media bahwa kejadian di Lombok Barat adalah persoalan SARA. Menurutnya, tidak ada perkelahian atau kerusuhan antar agama di NTB. Ia mengingat, memang pernah terjadi konflik di Sumbawa pada tahun 1980, yakni kerusuhan antar etnis dan agama, khususnya yang terjadi antara agama Hindu, Bali dan Islam. Rachmat menjelaskan, ada kecemburuan sosial hingga menyebabkan pembunuhan. Bahkan pada tahun 2013 juga terjadi hingga dua kali.
“Tahun 2000 kejadian kerusuhan kepada orang Kristiani, nah itu hoaks. Kalau ini kejadian di Lombok Barat nggak ada SARA. Jadi orang satu etnis, nenek moyang sama, cuma agama beda. Hanya salah paham ketika terjadi takbiran, kan orang Buddha nih punya sapi banyak. Nah, di barak sapinya itu mereka membunyikan mercon, sapinya lari. Itu yang dilarang. Nah sehingga terjadi pelemparan dan segala macamnya. Di samping memang ini ada orang-orang Buddha yang iri hati sama nasib ini romonya itu, gitu loh. Itukan kecemburuan sosial,” paparnya sembari berharap kejadian ini tidak perlu terulang kembali. (ndy/sf/red)