Pemerintah Kecamatan CILEBAK Kabupaten Kuningan Gelar Sosialisasi Sadar Hukum Pasal 284 Tentang Perselingkuhan Atau Perzinahan 

Daerah, Headline2314 Dilihat

Pemerintah Kecamatan CILEBAK Kabupaten Kuningan Gelar Sosialisasi Sadar Hukum Pasal 284 Tentang Perselingkuhan Atau Perzinahan  1

KUNINGAN, kabarSBI – Pemerintahan kecamatan Cilebak dengan melibatkan Forkopimcam, Pimpinan pemerintah desa dan kepala sekolah dasar negeri (SDN ) di kecamatan Cilebak kabupaten Kuningan sukses menggelar sosialisasi hukum sadar hukum Pasal 284 Tentang Perselingkuhan Atau Perzinahan pada Kamis (31/10/2024).

 

Bambang L.A Hutapea, S.H.,M.H.,C,Med. dari KANTOR HUKUM BAMBANG LISTI LAW FIRM” Advocates, Kurator, Mediator bersertifikasi MA RI No.93/KMA.SK/VI/2019 & Legal Consultant Hukum yang beralamat di jalan veteran nomor 50. Cipicung kelurahan Kuningan sebagai pemateri pada kegiatan acara tersebut menyampaikan.

 

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Dalam ranah hukum Indonesia, istilah “selingkuh” tidak secara resmi digunakan. Istilah yang lebih tepat dalam konteks hukum pidana atau KUHP adalah “gendak” atau “overspel” yang merujuk pada perbuatan persetubuhan antara seseorang yang telah menikah dengan individu lain yang bukan pasangannya. Ini dikenal sebagai bentuk perzinahan dalam hukum pidana.

 

 

Berdasarkan pasal 284 KUHP mendefinisikan zina (overspel) sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh perempuan yang bukan suami atau istrinya. Overspel tidak dapat diproses pidana tanpa adanya aduan.

 

Ayat 1:

Diancam Pidana penjara paling lama 9 bulan:

1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya

b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

 

Ayat 2:

“tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga”

 

Ayat (1):

“setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10Juta”

 

Ayat (2):

terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

a. suami atau isteri bagi yang terikat perkawinan

b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan

 

Bahwa, delik perizinan adalah delik aduan yang mana pengaduan ini terdapat dua pilihan yaitu:

1. pengaduan tidak dapat ditarik kembali

2. dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

Dalam Islam, melakukan perselingkuhan termasuk ke dalam zina dan itu dosa besar karena melanggar komitmen pernikahan yang sakral, dalam menafsirkan Surat Al-Isra: 32, Ibn Qudamah menjelaskan:

 

“Zinah adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Ibn Qudamah, Al Mugni, [Beirut: Darul Ihya al Turats al Arabiy, 1985], jilid IX, Hal. 38).

 

Orang yang melakukan zina ancaman hukumannya pun tidak ringan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dari hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman itu disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

 

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah saw bersabda: “Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya” (HR Abu Dawud).

Hukum adat umumnya tidak tertulis, tetapi hukum adat di akui di mata hukum Negara Indonesia. Hukum adat termuat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Di Indonesia beragam hukum adat yang dapat dipakai apabila terdapat orang yang berselingkuh diantaranya:

 

1.Hukuman bagi pelaku zina pernah menikah akan dirajam (dilempar batu) sampai mati. Dan hukuman bagi pelaku zina belum menikah akan dicambuk seratus kali.

2.Denda sendiri dibedakan berdasarkan beberapa kategori seperti sudah memiliki pasangan atau belum,dan sudah memiliki anak atau belum. Umumnya denda berkisar antara RP1.000.000 sampai Rp2.500.000 dan hewan ternak kambing jantan.

3.pasangan yang melakukan perselingkuhan akan melakukan ritual menyelam di sungai yang dipimpin ketua adat. Saat menyelam baik laki-laki dan perempuan harus bersamaan masuk ke dalam sungai, apabila tidak bersama maka akan diulangi lagi.

4.Denda yang seringkali digunakan dalam hukum ini adalah hewan ternak seperti kerbau, kambing, sapi, dan sebagainya. Disisi lain dapat berupa emas, dan kain tenun juga.

 

Menurut R.Soesilo, gendak/ overspel sebagai perbuatan zina, adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki/perempuan yang telah kawin dengan perempuan/laki-laki yang bukan suami/istrinya. Untuk dapat dikenakan pasal tersebut, persetubuhan harus dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.

 

Selain itu, delik tersebut merupakan delik aduan absolut, sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan. R.Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.

 

Adapun, jika akan melaporkan kepada Polisi, bukti perselingkuhan yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

 

Selain alat bukti tersebut di atas, dapat juga menggunakan bukti-bukti elektronik berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE jo Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XIV/2016. Misalnya bukti foto, video, chat, dan lain-lain sebagainya. Bukti-bukti perselingkuhan tersebut haruslah mengarah pada persetubuhan atau perzinaan agar memenuhi unsur Pasal 284 KUHP atau Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.

 

Apabila akan melapor kepada pihak berwajib, pelapor harus menjadi korban perselingkuhan, dalam hal ini bisa menjadi suami atau istri. Karena pasal 284 KUHP merupakan tindak pidana aduan. Dan teman selingkuh pria atau wanita juga harus di laporkan ke polisi, sesuai dengan ketentuan pasal 284 ayat 2 (a) dan (b) sebagaimana disebutkan sebelumnya. Serta yang terakhir perselingkuhan harus disertai dengan perzinahan.

 

Apabila perselingkuhan masih dalam kategori dugaan atau tidak memenuhi unsur-unsur pasal 284, maka tidak bisa termasuk ke dalam tindak pidana perselingkuhan/perzinahan. Dan bisa timbul adanya Pencemaran Nama Baik dan fitnah berdasarkan pasal 310 KUHP jo Pasal 434 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dengan ancaman pidana selama 4 tahun.

 

Serta bagi orang yang menyebarkan berita bohong (hoax) diancam dengan ancaman pidana berdasarkan Pasal 390 KUHP jo Pasal 506 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 engan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

 

Merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017 dalam pasal 1 angka 5 disebutkan Perangkat Desa adalah unsur staf yang membantu kepala Desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat Desa, dan unsur pendukung tugas kepala Desa dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Sejak keluarnya Undang-Undang Desa dan peraturan turunannya, sejak itu juga dilakukan perekrutan perangkat desa dan aturan pemberhentian perangkat desa. Berdasarkan peraturan tersebut, semestinya tidak ada lagi pemberhentian perangkat desa secara semena-mena. Tindakan kepala desa yang bertindak sewenang wenang tanpa aturan memberhentikan perangkat desa seperti raja-raja kecil yang kebal hukum. Bahkan ada perangkat desa dipecat dengan dasar adanya penolakan dari sekelompok orang yang diduga sengaja di atur skenario oleh kepala desa.

 

Berdasarkan Pasal 5 Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 Perangkat Desa berhenti Karena Meninggal Dunia, Permintaan sendiri, dan diberhentikan.

Perangkat desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud karena:

a) Usia telah genap 60 (enam puluh) tahun;

b) dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

c) Berhalangan tetap

d) tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai perangkat Desa; dan

e) melanggar larangan sebagai perangkat Desa.

 

 

Sesuai dengan Pasal 51 Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa :

1. Merugikan kepentingan umum

2. Membuat keputusan menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain atau golongan tertentu

3. Menyalahgunakan wewenang, tugas, hak dan atau kewajibannya

4. Melakukan Tindakan diskriminatif terhadap warga dan golongan masyarakat tertentu

5 .Melakukan Tindakan yang meresahkan sekelompok masyarakat desa

6 .Melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme, menerima uang, barang dan/ jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang dilakukannya.

7. Menjadi pengurus partai politik

8. Menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang

9. Merangkap jabatan sebagai BPD, anggota DPR, DPRD dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan

10. Ikut serta dan atau terlibat kampanye pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah

11. Melanggar sumpah /janji jabatan

12. Meninggalkan tugas selama 60 hari kerja secara berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggung jawabkan.

“Menghasut” artinya mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu.

 

Berdasarkan Pasal 160 KUHP menyatakan bahwa Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, diancam pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Namun patut diperhatikan bahwa pidana denda dalam pasal 160 KUHP tersebut tidak lagi Rp.4.500, melainkan Rp.4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) berdasarkan ketentuan Pasal 3 PERMA Nomor 2 Tahun 2012.

 

Berdasarkan Putusan MK No.7/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi mengubah rumusan delik penghasutan dalam pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materiil. Artinya, seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan atau suatu perbuatan anarki.

 

Berdasarkan pasal 5 Nota Kesepahaman antara PGRI dengan POLRI menyatakan bahwa apabila Para Pihak (PGRI dan POLRI) menerima laporan/pengaduan dari masyarakat terkait adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh guru, pendidik, dan tenaga pendidik, maka para Pihak saling berkoordinasi dalam rangka penyelidikan. Apabila hasil penyelidikan tidak terbukti, maka penanganan selanjutnya diserahkan kepada Pihak Dewan Kehormatan Guru Republik Indonesia, yang selanjutnya dilaksanakan oleh Pihak Kepolisian sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

 

Maka berdasarkan keterangan di atas, sebelum melakukan pemanggilan kepada Anggota PGRI, maka akan dilaksanakan terlebih dahulu sidang etik oleh Dewan Kehormatan Guru Republik Indonesia. Apabila memang terbukti bersalah, maka organisasi Profesi akan memberikan ijin kepada pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Pihak PGRI tetap akan melakukan pendampingan terhadap yang bersangkutan.