JAKARTA, kabarSBI.com – Pemerintah Indonesia secara resmi meresmikan operasional Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik, Jawa Timur. Smelter ini merupakan fasilitas pemurnian tembaga dengan desain jalur tunggal terbesar di dunia dengan kapasitas mencapai 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Smelter ini diharapkan dapat menjadi tonggak utama dalam mendukung kebijakan hilirisasi industri, sekaligus menjaga resiliensi ekonomi nasional.
Untuk mendukung kebijakan hilirisasi tersebut, peran off-takers domestik menjadi sangat penting termasuk penggunaan bahan baku tembaga. Saat ini, pasokan produk hilirisasi tembaga yang dibutuhkan Indonesia masih mengandalkan produk impor seperti copper tube, copper tape, evaporator tembaga, serta komponen-komponen yang dibutuhkan dalam produksi Electric Vehicle (EV). Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Pemerintah terus mendorong industri pengolahan di Kawasan Ekonomi Khusus untuk melakukan hilirisasi.
Adapun Smelter PTFI yang menempati lahan seluas 100 hektar di KEK Java Integrated Industrial Ports Estate (JIIPE), Gresik, telah menghabiskan investasi kumulatif sekitar Rp58 triliun atau sekitar USD3,7 miliar. Investasi tersebut tidak hanya akan memberikan manfaat bagi perusahaan konstruksi dalam negeri, tetapi juga akan menciptakan multiplier effects kepada masyarakat di Kabupaten Gresik.
Dengan beroperasinya smelter ini bersama dengan PT Smelting, akan memurnikan 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun dengan produksi sekitar 600.000 ton katoda tembaga, 50 ton emas, dan 200 ton perak per tahun. Maka, seluruh kosentrat tembaga yang diproduksi oleh PTFI dapat semuanya diproses dan dimurnikan di dalam negeri, demikian juga lumpur anoda dari PT Smelting.
Kehadiran PTFI di KEK Gresik juga diharapkan dapat menjadi magnet investasi, khususnya dalam mendukung industri hilirisasi seperti Electric Vehicle (EV). Hingga Maret 2024, KEK Gresik telah mencatatkan investasi sebesar Rp75,2 triliun dan menyerap lebih dari 35.000 tenaga kerja. Dengan begitu, peresmian ini tidak hanya menjadi tonggak sejarah dalam industri pemurnian tembaga di Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri strategis.
“Tentu ke depan Indonesia akan mampu untuk meningkatkan ekspornya. Kalau ekspor kita kuat, maka rupiah kita bisa stabil. Sebagai contoh, dari nikel itu dan dari kelapa sawit ekspor kita USD55 miliar. Nah impor minyaknya USD40 miliar. Jadi sebetulnya natural hedging itu terjadi,” pungkas Menko.
(ekon/red)