
Foto: Ketua Majelis Hakim saat menanyakan batasan tanah atas terbitnya HGB yang di gugat warga Gang Karya, Papanggo, Jakarta Utara. (dok)
JAKARTA, kabarSBI.com – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melakukan Sidang Lapangan di Gang Karya di lingkungan RW 03 Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa, 4/8/2020. Hadir dalam Sidang lapangan tersebut Hakim Ketua Andi Muh. Ali Rahman, SH,MH dan Hakim anggota Umar Dani beserta panitera.
Hadir pula tiga kuasa hukum penggugat yang dipimpin Mahadita Ginting,SH bersamanya Efendi Matias SH, Fernando Hudadiri SH. Sementara dari pihak tergugat yaitu BPN Jakarta Utara (Jakut) diwakili oleh Dudung Sutisna (Bagian Pengukuran) bersamanya Andhika Pratama Putra dan tergugat intervensi.
Sementara pihak terkait, Suryati selaku pemilik tiga sertifikat hak guna bangunan (HGB) dengan luas total 7.875 m2 dari hasil produk PTSL BPN Jakarta Utara Tahun 2018 yang digugat 63 warga gang Karya Papanggo tidak hadir dalam sidang lapangan, maupun yang mewakilinya.

Warga berkaos dengan tulisan “warga gang karya menggugat” membantu tim hakim usai laksanakan sidang lapangan di Gang Karya Papanggo, Jakut. (dok)
Ketua Majelis Hakim PTUN Jakarta, Andi Muh. Ali Rahman, yang memimpin jalannya sidang perkara 49/G/2020/PTUN.DKI sejak bulan Maret 2020 menanyakan pada tergugat BPN Jakarta Utara yang diwakili oleh Dudung Sutisna tentang batasan tanah sesuai peta gambar ukur, pihak BPN Jakut nampak kebingungan.
“Dari tiga obyek tanah yang disengketakan, ditempat kita berdiri ini letak batasan-batasannya dimana, ini ada musholah (Baithul Abidin, red) posisi kita berdiri ini dimana,” tanya Ketua Hakim Andi pada BPN Jakut.
“Itu di gambar tidak ada garis-garis (batas). Biasanya kan ada batas-batas, nah ini musholah gambarnya yang mana,” tanya Hakim kembali.
Mendapat pertanyaan itu pihak BPN Jakarta Utara tidak dapat secara tegas menjawab pertanyaan hakim. Dudung Sutisna bagian pengukuran BPN Jakut, pantauan situs ini, hanya menyebut pengukur dari pihak ketiga, selanjutnya melihat-lihat peta dan gambar ukur sesekali berkonsultasi dengan jajaranya.
“Harus jelas Pak dalam menentukan posisi kita dimana,” tegas hakim PTUN itu.
Dalam kesempatan lain, Hakim kembali bertanya siapa yang membangun rumah-rumah dalam obyek sengketa tersebut.
“Rumah-rumah ini warga (penggugat, red) yang membangun. Bangunanya warga yang mendirikan sendiri, kalau tanahya bukan (milik warga),” jawab tergugat intervensi.

Mahadita Ginting (tengah) bersama tim pengacara dan Imparsial warga Pendi Hutapea usai jalani sidang lapangan. (dok)
Sementara itu Kuasa Hukum warga gang Karya Mahadita Ginting menyanggah klaim sebelum diterbitkanya sertifikat HGB di tanah yang kosong alias tidak ada penghuni atau warga.
“Dalam sidang lapangan ini kami buktikan bahwa HGB diterbitkan dalam kondisi tanah sudah banyak warga. Warga-warga disini (Gang Karya) telah mendirikan bangunan sejak tahun 2000 sementara HGB terbit tahun 2018,” jelas Ginting, seraya menyebut dahulu tanah tersebut adalah rawa-rawa bukan tanah padat seperti disampaikan penggugat intervensi.
Selain itu, Ginting mengaku heran BPN Jakarta Utara tidak dapat menunjukan batasan HGB satu dengan HGB lainnya.
“BPN tidak bisa menunjukan, bukti-bukti dan titik-titik tanah yang pernah diukur. Bahkan untuk menunjukan arah utara dan selatan saja BPN seperti kebingungan, dan tidak mengetahui. Kita jadi ragu, ini artinya bisa saja gambar ukur tersebut tidak pernah terjadi pengukuran dilapangan. Pertanyaannya, kenapa bisa terbit tanpa ada pengukuran,” tandas Ginting.
Ia mengaku sejak menangani sengketa tanah tersebut sudah menaruh kecurigaan mulai dari status dan asal muasal tanah. kata dia, BPN sebut yang bisa menunjukan batasan ini hanya yang mengajukan sertifikat.
“Ini kan aneh terus BPN fungsinya apa, anggaran PTSL ini apa digunakan untuk kepentingan rakyat atau kepentingan pribadi.”

Sejumlah aparat Kepolisian dan TNI berbaur dengan warga usai sama-sama menjaga kondusifitas sidang lapangan PTUN Jakarta. (dok)
“Ternyata apa yang kita duga ada sesuatu yang tidak beres dalam penerbitan HGB, bisa terbukti. Kami semakin curiga yang seharusnya BPN itu mudah dengan buka peta, buka gambar untuk menunjukan batas-batas ini malah sampai dia tanya sana sini dan liat-liat handphone. Sampai kami tunggu cukup lama tak ada jawaban yang jelas,” terang Ginting pada awak media dilapangan.
Lebih jauh ia menilai tanah Gang Karya Papanggo adalah tanah negara yang oleh oknum dibuatkan sertifikat lalu akan di jual pada pemda DKI Jakarta.
“Ini aneh yang awalnya tanah negara dijadikan sertifikat HGB untuk pribadi, lalu tanah yang telah bersetifikat itu akan dibeli oleh negara (Pemda DKI). Jangan-jangan ini ada oknum yang ingin memperkaya diri,” tuding Ginting.
Meski begitu ia berharap pada proses jalanya persidangan di PTUN dengan keputusan yang seadil-adilnya untuk masyarakat.
“Harapan kami supaya hakim dalam memeriksa perkara ini memutuskan dapat membatalkan sertifikat HGB yang diterbitkan BPN Jakarta Utara di Gang Karya Papanggo. Karena kami sudah tunjukan bukti-bukti dipersidangan dan bukti lapangan.”
“Satu hal penting BPN Jakarta Utara sesuai aturan tidak boleh menerbitan sertifikat diatas 3000 m2. Jadi Kami berharap majelis dapat mengabulkan semua gugatan kami,” harapnya.
Sidang lapangan yang berlangsung sekitar pukul 10 pagi itu berlangsung normatif, meski ada seorang warga yang dianggap penyusup dikeluarkan dari area sidang. Beruntung warga dan aparat kepolisian serta TNI setempat membantu pengamanan hingga tak terjadi hal yang tak diharapkan. (r/as)