
Semarang, kabarSBI- Menjelang tahun ajaran baru, polemik seputar pengadaan seragam sekolah kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Isu dugaan “bancakan” atau praktik tidak sehat dalam proses tender untuk seragam sekolah SD, SMP, dan SMA mulai ramai diperbincangkan di berbagai daerah.
Terdapat indikasi kuat bahwa proses tender sering kali tidak dilakukan secara transparan dan adil. Sejumlah pihak diduga terlibat dalam praktik kolusi, dengan membagi-bagi proyek pengadaan seragam demi keuntungan kelompok tertentu, yang akhirnya berdampak pada kualitas dan ketepatan distribusi kepada para siswa.
Dari hasil penelusuran investigatif, Perwakilan media SBI Jawa Tengah menguungkap adanya dugaan bahwa beberapa pihak yang mengaku sebagai pengusaha mendekati kepala daerah untuk mendapatkan rekomendasi dan memenangkan tender. Padahal, pihak-pihak ini umumnya tidak memiliki latar belakang atau pengalaman memadai di bidang tekstil.
Lebih lanjut, terkuak pola pemberian proyek kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang diduga kuat memiliki hubungan dengan pejabat daerah. Indikasi lain menunjukkan bahwa proses seleksi pemenang tender hanyalah formalitas belaka, karena pemenangnya telah ditentukan sebelumnya.
Reaksi masyarakat pun bermunculan. Para orang tua murid mengeluhkan kualitas seragam yang buruk—mulai dari bahan yang gampang rusak, jahitan asal-asalan, hingga ukuran yang tak sesuai. Sementara itu, pelaku usaha kecil yang sebenarnya memiliki kapabilitas justru merasa dikesampingkan karena tak diberi peluang untuk ikut bersaing.
Mereka menilai sistem tender selama ini tidak memberikan ruang yang adil. Semua seolah sudah dikondisikan sejak awal sehingga pengusaha kecil tak punya kesempatan.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk meninjau ulang sistem pengadaan seragam di seluruh daerah. Diperlukan langkah konkret untuk memperketat proses lelang, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.
Namun, menurut para pengamat, evaluasi saja belum cukup. Tanpa adanya sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran, praktik curang semacam ini akan terus berulang dan mencederai tujuan peningkatan mutu pendidikan.
Kontroversi ini menunjukkan betapa pentingnya reformasi dalam sistem pengadaan barang publik, khususnya dalam sektor pendidikan yang menyangkut langsung kepentingan rakyat. Transparansi dan keadilan harus menjadi landasan utama dalam setiap proses agar tujuan pembangunan pendidikan benar-benar tercapai.
Tim Liputan