kabarSBI.com – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI akan segera membentuk Panitia Kerja (Panja) harmonisasi RUU tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Demikian dikatakan Wakil Ketua Baleg DPR RI Muhammad Nurdin dalam Rapat Baleg DPR RI dengan salah satu agenda pokok pembahasan yaitu mendengarkan penjelasan dari pengusul yakni Komisi III DPR RI, yang diwakili oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh mengenai RUU tentang Perubahan Kedua UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Masa pengharmonisasian ini diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Untuk itu setiap fraksi diharapkan untuk dapat segera menyiapkan perwakilannya,” ucap Nurdin di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Senada dengan Muhammad Nurdin, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas juga meminta agar segera dibentuk Panja Harmonisasi RUU tentang Kejaksaan tersebut. Dikatakannya, melalui Panja tersebut barulah akan dilakukan berbagai pendalaman materinya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Baleg DPR RI Muhammad Ali Taher Parasong menyatakan, salah satu kelemahan bangsa ini adalah terlalu berorientasi kepada persoalan kelembagaan hukum. Ali menyampaikan, ada tiga aspek lembaga hukum yakni, struktur, substansi dan budaya hukum. Menurutnya, salah satu penyebab rapuhnya penegakan hukum di Indonesia saat ini adalah karena masalah integritas dari penegak hukumnya yang lemah.
“Kemampuan integritas penegak hukum tidak menjadi prioritas di dalam program-program apapun, termasuk menempatkan Pancasila sebagai nilai itu hanya sebatas simbolisasi, dan tidak pada substansi. Saya mengingatkan bahwa rusaknya bangsa ini bukan pada substansi hukum, bukan pula pada struktur hukum, tetapi pada budaya hukum,” tandasnya.
Sementara itu dalam penjelasannya mengenai RUU tentang Perubahan Kedua UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh menyampaikan, Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan tugas negara di bidang penegakan hukum. Oleh karena itu penegakan hukum tersebut harus dilaksanakan secara merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.
“Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana,” ujar Khairul.
Ia menguraikan, lembaga Kejaksaan diatur secara khusus melalui UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang mencabut UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, sambung Khairul, UU tentang Kejaksaan ini telah diajukan beberapa kali yudisial reviu pada Mahkamah Konstitusi, dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mempengaruhi kinerja Jaksa.
“Selain itu telah terjadi pergeseran paradigma keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yang mana Kejaksaan diberi peran untuk mengedepankan keadilan restoratif,” ungkapnya.
Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki pelanggaran kasus relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, tambah Khairul. Seperti pada kasus pencurian, Jaksa harus dapat menuntut dan bersikap dengan berpedoman kepada keadilan restoratif. Perkembangan lain, lanjutnya, dalam penegakan hukum tidak tidak hanya melakukan pendekatan preventif represif namun juga dapat diambil tindakan lain.
“Hal lain yang juga penting dalam sistem pemerintahan adalah jabatan Jaksa sebagai kekhususan di dalam aparatur sipil negara sebagaimana pegawai di Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Karakteristik Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk peraturan kepegawaian khusus,” kata Khairul.
Ia mengatakan, Perubahan (RUU) ini juga menghimpun berapa kewenangan Jaksa Agung, Kejaksaan, dan Jaksa untuk dapat dapat melaksanakan tugas fungsi kewenangan jaksa untuk lebih optimal. “Hal ini sejalan dengan semangat penyederhanaan legislasi. Sehingga dengan perubahan ini, UU Kejaksaan Republik Indonesia lebih komprehensif dan terpadu. Dengan demikian, perubahan atas UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 merupakan suatu perubahan yang penting agar Sistem Peradilan Pidana berjalan secara normal,” pungkasnya. (dep/es/hat)