Kuningan, kabarSBI– Sejumlah sekolah di Kabupaten Kuningan mengeluhkan program pengadaan angklung, yang ternyata hanya menjadi pajangan karena tidak disertai pelatihan bagi guru maupun siswa. Padahal, Kabupaten Kuningan telah mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Angklung, namun upaya pelestariannya dinilai tidak berjalan optimal.
Beberapa bulan lalu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kuningan mengadakan Forum Group Discussion (FGD) bertema “Kuningan sebagai Kabupaten Angklung” yang berlangsung di Rumah Makan Manioh. Meskipun angklung telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada tahun 2010, pelaksanaannya di sekolah-sekolah tidak sesuai harapan.
Sejumlah kepala sekolah menyatakan bahwa setelah angklung dibeli melalui penyedia (pihak ketiga), alat musik tersebut tidak digunakan karena pihak penyedia tidak menyediakan pelatih untuk mengajarkan cara memainkannya.
“Angklung sudah ada di sekolah, tetapi karena tidak ada guru yang bisa mengajarkan, akhirnya hanya disimpan sebagai pajangan,” keluh salah satu kepala sekolah.
Selain tidak mendapatkan manfaat dari alat musik yang dibeli, sekolah-sekolah juga mempertanyakan harga angklung yang dianggap terlalu mahal dibandingkan harga pasaran:
- Harga angklung yang ditawarkan kepada sekolah berkisar antara Rp 1.500.000 hingga Rp 2.500.000 per set, tergantung jumlah gantungan angklung.
- Berdasarkan survei di Saung Angklung Udjo, Bandung, harga eceran tertinggi (HET) hanya sekitar Rp 600.000 per set, dan itu sudah termasuk pelatihan.
“Harga di Bandung jauh lebih murah dan sudah ada pelatihnya. Tapi di sini, sekolah membeli dengan harga lebih mahal tanpa ada pelatih. Ini seperti pemborosan anggaran,” tambah seorang kepala sekolah SMP di Kuningan.
Selain itu, muncul pertanyaan mengenai sumber dana yang digunakan untuk membeli angklung ini. Jika menggunakan dana BOS, maka perlu dipastikan apakah pembelian ini sesuai regulasi. Sebab, dalam aturan dana BOS, belanja barang seperti angklung harus melalui sistem pembelanjaan sekolah (SIPLah) dan memiliki izin resmi dari pemerintah daerah.
Menurut Ikhsan, Kepala Sekolah SMPN Cigugur Kuningan, pemerintah daerah dan Disdikbud tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi resmi yang mewajibkan sekolah membeli angklung.
Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan:
- Siapa yang menginstruksikan sekolah untuk membeli angklung?
- Mengapa sekolah merasa wajib membeli meskipun tidak ada instruksi resmi?
- Apakah anggaran yang digunakan berasal dari dana BOS atau sumber lain?
“Jika memang ada aturan yang mewajibkan, seharusnya ada surat resmi. Kalau tidak ada, lalu siapa yang mengarahkan sekolah-sekolah untuk membeli?” ujarnya.
Dengan adanya permasalahan ini, para kepala sekolah berharap kepemimpinan Bupati Kuningan yang baru, Dian Rahmat dan Tuti Andriyani, dapat meninjau kembali kebijakan ini agar tidak menjadi pemborosan anggaran. Jika ingin menjadikan angklung sebagai ikon Kabupaten Kuningan, maka program ini harus disertai dengan pelatihan dan pendampingan, bukan hanya sekadar pengadaan alat musik.
Jika tidak segera diselesaikan, polemik ini berpotensi menjadi masalah besar, terutama jika terbukti ada penyalahgunaan anggaran dalam proses pengadaan angklung di sekolah-sekolah.
Tim