Opini oleh: Saeful Yunus, S.E., M.M.
Dalam sistem hukum yang sehat, pengadilan berperan sebagai penjaga terakhir keadilan dan kebenaran. Namun, dalam kenyataan, kita masih menemukan putusan perkara perdata yang justru menimbulkan ketidakadilan. Kondisi ini dikenal sebagai peradilan sesat, yakni ketika putusan hukum dibuat berdasarkan proses yang menyimpang, bias, atau sarat kepentingan.
Peradilan sesat bukan semata kesalahan teknis. Ia adalah cacat sistemik yang dapat muncul sejak awal proses hukum, dari penyidikan hingga pembacaan putusan. Salah satu penyebab utama adalah kesalahan dalam fakta hukum. Ketika fakta yang disampaikan ke pengadilan tidak lengkap atau bahkan keliru, maka keputusan yang diambil pun berpotensi tidak mencerminkan kebenaran yang sesungguhnya.
Salah penerapan hukum juga menjadi faktor penyumbang. Hakim bisa saja keliru menafsirkan ketentuan hukum atau menerapkan pasal yang tidak relevan dengan substansi perkara. Ini dapat terjadi karena kelalaian, kurangnya pemahaman, atau bahkan tekanan dari luar proses hukum.
Lebih jauh, terdapat persoalan rekayasa atau manipulasi fakta. Dalam beberapa kasus, fakta-fakta dalam persidangan diduga dimodifikasi oleh oknum penyidik atau pihak tertentu untuk menguntungkan salah satu pihak. Praktik ini jelas menyalahi asas peradilan yang objektif dan imparsial.
Faktor lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah korupsi dalam sistem peradilan. Suap, gratifikasi, atau intervensi dari pihak eksternal kerap kali memengaruhi jalannya proses hukum. Ketika hakim atau aparat penegak hukum dapat “dibeli”, maka keadilan hanya menjadi ilusi.
Selain itu, ketidakadilan prosedural juga dapat melahirkan peradilan sesat. Misalnya, ketika salah satu pihak tidak diberi ruang yang layak untuk membela diri, atau ketika proses persidangan dijalankan secara terburu-buru dan tertutup.
Dampak dari peradilan sesat sangat luas. Dalam aspek materiil, pihak yang dirugikan bisa mengalami kehilangan hak atas harta, tanah, atau aset yang seharusnya menjadi miliknya. Dalam aspek non-materiil, mereka bisa mengalami tekanan psikologis, kehilangan reputasi, hingga trauma sosial. Yang paling berbahaya, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum bisa terkikis. Ketika hukum tidak lagi dipercaya, maka supremasi hukum yang menjadi fondasi negara demokrasi akan rapuh.
Untuk itu, reformasi sistem peradilan harus terus diperkuat. Pengawasan terhadap hakim, jaksa, dan penyidik perlu ditingkatkan, baik secara internal maupun eksternal. Etika profesi harus ditegakkan, dan sanksi terhadap pelanggaran hukum harus diberlakukan secara tegas.
Peradilan sesat bukan hanya luka bagi korban, tetapi juga ancaman serius bagi martabat hukum itu sendiri. Dalam negara hukum, keadilan tidak boleh menjadi barang langka. Ia harus nyata, dapat diakses, dan dijalankan secara jujur.
Majalengka, 13 Juni 2024
—
Tentang Penulis:
Saeful Yunus, S.E., M.M.
Praktisi dan pengamat sosial hukum, tinggal di Majalengka.