JAKARTA, kabarSBI.com
Pimpinan redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia (SBI) Agung Sulistio, selaku aktivis media Nasional sekaligus penanggungjawab situs media kabarSBI.com mengingatkan kepada para Kepala Daerah terkait tren mutasi atau penggantian pajabat yang kerap meningkat terjadi jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024
Menurut Agung, bagi Kepala Daerah atau Pejabat Kepala Daerah yang melakukan mutasi atau penggantian pejabat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bisa dikenai sanksi pidana, sebagaimana diatur di dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Secara jelas menyatakan “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri”
Kemudian didalam Pasal 162 ayat (3) UU No.10 Tahun 2016 menegaskan bahwa “Gubernur, Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri”
Oleh karena itu Agung menjelaskan, “Sanksi kepada Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) dapat dipidana, berdasarkan Pasal 190 UU No.10 Tahun 2016 dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah)” Jelas Agung, Rabu, 25/09/2024
Sementara itu Menteri Dalam Negeri juga telah menghimbau melalui Surat Edaran (SE) Nomor:100.2.1.3/1575/SJ Tertanggal 19 Maret 2024 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia untuk tidak melakukan pergantian pejabat selama enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri dalam Negeri.
Selain itu, terdapat penegasan dalam hal sikap politik bagi para pejabat agar tidak terlibat politik praktis,
“Berdasarkan pasal 71 ayat 1 UU No.10 Tahun 2016 disebutkan bahwa Pejabat Negara, Pejabat Daerah, Pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN), Anggota TNI/Polri, dan Kepala Desa atau Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon” Imbuh Agung
Namun, apabila karena kekosongan jabatan dalam Pemerintahan, maka Pemerintah akan melakukan Open Bidding jabatan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Menteri PAN RB Nomor 15 Tahun 2019 dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi sering kali di dalam pelaksanaannya, Open Bidding kerap ditemukan pihak-pihak yang melakukan Gratifikasi demi mendapatkan Jabatan.
Gratifikasi merupakan akar dari korupsi yang dianggap kecil tetapi merusak. Larangan Gratifikasi di atur dalam Pasal 12b dan 12c Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Lebih jauh lagi Agung mengatakan dengan tegas, “Adapun ancaman pidana bagi pelaku Gratifikasi yaitu dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200 juta dan paling banyak Rp.1 Miliar.” Tandasnya
(tim/man/as)